'Marxisme' sebagai Wacana Intelektual Tak Boleh Dilarang

Menu Atas

Cari Berita

Advertisement

'Marxisme' sebagai Wacana Intelektual Tak Boleh Dilarang

Minggu, 04 Agustus 2019






Beberapa hari ini kita dikagetkan dengan pemberitaan bahwa ada beberapa oknum yang menamakan diri Brigade Muslim Indonesia merazia buku-buku yang dianggap berpaham kiri atau komunisme. Terutama buku yang bersampul ‘Karl Marx’.



Kejadian yang terjadi di kota Makassar ini patut disayangkan. Seharusnya, di tengah kehidupan demokrasi yang mengedepankan kebebasan tidak boleh ada pelarangan terhadap siapa saja masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dari sumber apapun. Entah itu buku ‘teks’ maupun buku eletronik (ebook).



Pengekangan terhadap masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan berbagi ilmu pengetahuan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Karena pengetahuan adalah hak dasar manusia yang harus dipenuhi.



Pelarangan terhadap buku ‘kiri’ atau paham ‘Marxisme’ bukan hal baru di Indonesia. Sejak awal orde baru hal itu sudah terjadi karena kebebasan berpendapat dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah.



Yang menarik dari pelarangan paham marxisme di zaman orde baru adalah karena persoaan politik dan ideologi dunia dimana terjadi pertikaian antara kapitalisme-liberalisme dan komunisme. Bukan semata-mata karena paham Marx yang tidak mengakui keberadaan tuhan.



Kala itu, negara memihak kapitalisme-liberalisme (bahkan hingga kini). Sementara disisi lain, paham sosialisme (Marx) justru bertentangan dengan paham yang dianut negara dan dianggap sebagai ancaman.



Maka, negara memberangus paham ini dengan stigmatisasi komunis. Akibatnya, perkembangan pengetahuan terhambat. Dan negara semakin memperlihatkan ketidaktahuannya terhadap berbagai varian pengetahun.



Kini zaman sudah berubah, kran demokrasi telah dibuka sejak reformasi digulirkan dan kejatuhan orde baru 1998. Orang diberi kebebasan sepenuhnya untuk menyatakan pendapat, mengkritik secara terbuka bahkan untuk mendapatkan informasi sekalipun.



Apa yang terjadi di Makassar beberapa waktu lalu justru memundurkan kita ke zaman orde baru, apapun itu motifnya. Di zaman yang sudah sedemikian terbuka informasinya tidak boleh ada pelarangan dan persekusi terhadap masyarakat yang ingin mengembangkan wacana intelektual.



Menurut saya, paham Marxisme, sosialisme dan komunisme sebagai sebuah wacana dan kajian intelektual tidak menjadi soal hadir dalam ruang-ruang diskusi masyarakat. Terutama kalangan mahasiswa yang tengah haus akan ilmu pengetahuan.



Dengan mereka membaca dan mengkaji paham-paham tersebut, sendirinya akan memahami bagaimana pandangan-pandangan ideologi dunia terkait masalah yang dihadapi manusia. Entah itu dari perspektif politik, hukum, ekonomi maupun sosial.



Begitupun sebaliknya, tidak bisa dilarang bagi mereka yang ingin mendiskusikan wacana-wacana tentang Islam sebagai sistem politik, ekonomi, hukum maupun negara. Begitupun dengan diskursus-diskursus lainnya. Semakin banyak bacaan, wacana, maka masyarakat akan semakin cerdas dan dewasa.



Meskipun, pada akhirnya masyarakat harus diingatkan bahwa paham Marxisme-Komunisme dan Leninisme bertentangan dengan Pancasila seba­gai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia. Larangan itu sudah termaktub dalam Ketetapan MPRS Nomor 25/1966. Tetapi untuk kepentingan studi akademis, kajian-kajian ilmiah tidak dilarang.[]



Artikel ini pernah dipublikasikan di NTBPOST.COM: https://www.ntbpost.com/2019/08/marxisme-sebagai-wacana-intelektual-tak.html