KPK Sengaja Dimatikan?

Menu Atas

Cari Berita

Advertisement

KPK Sengaja Dimatikan?

Senin, 23 September 2019














Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara tiba-tiba dan
mengejutkan publik di akhir masa periode 2014-2019 ini merevisi undang-undang
nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).





Keputusan yang terburu-buru ini tentu memunculkan sejumah
dugaan negatif publik. Disisi lain, dalam UU KPK yang baru tersebut ada
beberapa pasal yang dianggap melemahkan kerja-kerja KPK dari biasanya atau
dianggap mematikan lembaga anti rasuah ini.





Diantara pasal-pasal tersebut tersebut antara lain, dalam
pasal 1 Revisi UU KPK. Pada pasal ini, KPK dikategorikan sebagai lembaga negara
dalam rumpun eksekutif yang mengatur tugas pemberdayaan dan Tindak Pidana
Korupsi.







Artinya, posisi KPK tidak lagi sebagai lembaga independen
seperti selama ini. Ketika KPK menjadi bagian dari lembaga eksekutif, artinya
kerja-kerja KPK harus berkoordinasi secara langsung dengan Presiden sebagai
Kepala Eksekutif. KPK justru akan menjadi perpanjangan tangan dari Presiden. Walaupun
(katanya) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya masih bersifat independen.





Selanjutnya, pasal yang mengatur tentang status pegawai KPK.
Pada pasal 1 ayat 7, disebutkan bahwa pegawai KPK akan menjadi Aparatur Sipil
Negara (ASN). Dengan status ASN maka pegawai KPK akan dikontrol oleh
pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) sebagai Kementerian yang menaungi langsung
para PNS.





Ketika berstatus ASN, otomatis pihak yang berhak melakukan
rekruitmen, mutasi dan rotasi pegawai di KPK nantinya adalah pemerintah. Maka
dalam konteks ini, KPK telah dikontrol pemerintah. Ketika para ASN dan pegawai
KPK dikontrol pemerintah atau Kementerian maka tidak akan ada lagi berita penangkapan
menteri karena ketahuan korupsi seperti yang kita dengar selama ini.





Yang tak kalah penting adalah soal pembentukan Dewan
Pengawas. Dewan Pengawas memiliki kewenangan yang sangat luar biasa. Diantaranya
memberikan atau tidak memberi izin atas kerja penyadapan, penggeledahan dan
atau penyitaan oleh KPK termasuk meningkatkan dukungan pimpinan KPK setiap satu
tahun.





Disisi lain, Ketua dan anggota Dewan Pengawas memilih DPR RI
berdasarkan calon anggota yang diajukan Presiden. Sementara dalam mengangkat
ketua dan anggota Dewan Pengawas, Presiden membentuk panitia seleksi yang
terdiri atas pemerintah pusat dan masyarakat.





Kalau sudah begini, maka ujung dari kasus korupsi seseorang
ada di tangan Dewan Pengawas. Apakah ada jaminan Presiden menempatkan
orang-orang yang benar-benar profesional di bidang penegakan hukum sebagai Dewas
KPK? Begitupun DPR.





Saya kira mustahil bagi Presiden yang merupakan orang partai
dan didukung partai-partai koalisi tidak menempatkan orang ‘titipan’sebagai
Dewas di KPK. Karena Dewas menjadi persetujuan akhir dari awalnya penyelidikan
sebuah kasus hukum pidana korupsi.





Kalau ditelaah secara seksama poin-poin yang dimunculkan
dalam revisi ini, tentu saja mudharatnya sangat besar bagi KPK. Ketimbang
manfaat atau wacana penguatan seperti yang digelorakan sebagian orang yang pro
revisi UU KPK selama ini.





KPK nampaknya secara perlahan ingin dibunuh atau dimatikan.
Status lembaga independen dengan kewenangan yang otonom dalam penegakan hukum
membuat KPK selama ini menjadi harapan masyarakat dalam menangkap para koruptor
di sejumlah lemnbaga negara. Bahkan di lembaga penegak hukum itu sendiri mulai
dari Kejaksaan, Kepolisian, Hakim, Pengacara dan seterusnya.


Dengan kewenangan KPK yang kuat itu membuat para koruptor dan
para mafia merasa terancam.





Akhirnya, mereka berupaya melemahkannya. Salah
satunya dengan revisi aturan yang menjadi acuan KPK. Selain merevisi UU, sangat
mungkin para koruptor atau poihak  yang
ingin melemahkan KPK mengutus calon pimpinan untuk menggerus KPK dari dalam
agar lebih mudah dimatikan.





KPK akhirnya hanyalah sebuah lembaga yang tak punya taring,
tak lagi menangkap koruptor besar, ya kalaupun ada mungkin koruptor keas ‘teri’
yang nilai kerugian negara tidak signifikan. Sementara para mafia-mafia
yang  bersengkongkol dengan pejabat aman-aman
saja, gratifikasi, izin dan suap menyuap akan menjadi berita langka yang
penangkapannya tak lagi kita dengarkan di media.[]





Dedi Ermansyah, Peneliti Demokrasiana Institute