Benarkah Kekerasan Terhadap Ade Armando Agenda Setting?

Menu Atas

Cari Berita

Advertisement

Benarkah Kekerasan Terhadap Ade Armando Agenda Setting?

Selasa, 14 Juni 2022



Sepekan terakhir ruang media, baik itu media sosial maupun media mainstream berita utamannya diisi dengan pemberitaan kekerasan terhadap pegiat media sosial sekaligus dosen Universitas Indonesia, Ade Armando oleh sekelompok orang pada aksi demonstrasi mahasiswa yang dimotori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Senayan Jakarta. Pemberitaan seputar kekerasan ini sendiri memunculkan sejumlah reaksi publik. Ada yang mengecam kekerasan terhadap Ade, namun ada pula yang mendukung kebrutalan massa. 


Ade Armando sendiri datang ke lokasi demonstrasi tersebut sebagai bentuk dukungannya terhadap tuntutan mahasiswa kepada pemerintah. Salah satunya terkait isu penolakan penundaan pemilihan umum (pemilu) 2024 dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode.


Disela-sela aksi ini, Ade Armando diwawancarai oleh sejumlah wartawan terkait kedatangannya ke lokasi demonstrasi. Namun, saat diwawancara Ade kemudian tiba-tiba dipukul massa yang saat itu sedang berkerumunan. Ade tidak hanya sekadar dipukul tapi ditarik ke jalanan, diinjak dan telajangi. Akibatnya, dia mengalami luka yang sangat parah dan darah bercucuran di mukanya. Ade pun dirawat di High Care Unit (HCU), Rumah Sakit Siloam Jakarta.


Belakangan, aksi kekerasan terhadap Ade Armando kemudian justru menjadi trending topic, ketimbang tuntutan mahasiswa kepada pemerintah dan DPR. Adapun sejumlah tuntutan mahasiswa dalam aksi demonstrasi ini antara lain mendesak dan menuntut wakil rakyat agar mendengarkan dan menyampaikan aspirasi rakyat bukan aspirasi partai, kedua mendesak dan menuntut wakil rakyat untuk menjemput aspirasi rakyat sebagaimana aksi massa yang telah dilakukan dari berbagai daerah dari tanggal 28 Maret 2022 sampai 11 April 2022, ketiga mendesak dan menuntut wakil rakyat untuk tidak mengkhianati konstitusi negara dengan melakukan amandemen, bersikap tegas menolak penundaan pemilu 2024 atau masa jabatan 3 periode, keempat mendesak dan menuntut wakil rakyat untuk menyampaikan kajian disertai 18 tuntutan mahasiswa kepada presiden yang sampai saat ini belum terjawab (sumber: Tribunnews.com).


Kemunculan Ade Armando yang notabene-nya sebagai pendukung pemerintah di tengah demosntrasi mahasiswa memuculkan sejumlah pandangan, salah satunya ada yang menduga kehadiran Ade Armando ini sebagai bagian dari agenda setting atau setting agenda. Pernyataan ini disampaikan Pengamat Politik dan Kebijakan Publik sekaligus Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju, Yusfitriadi di media Pos Kota (https://poskota.co.id/2022/04/13/ade-armando-masuk-agenda-setting). Menurut dia, kesimpulan itu dapatkan karena publik lebih ramai membicarakan insiden penganiayaan Ade Armando ketimbang apa yang menjadi tuntutan demo mahasiswa. 


Apakah benar kekerasan terhadap Ade Armando Agenda Setting?


Dalam artikel ini, saya hendak membuktikan apakah benar kekerasan terhadap Ade Armando merupakan agenda setting? Adapun pengertian agenda setting dalam istilah komunikasi menurut sejumlah tokoh antara lain pertama menurut Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw, bahwa media massa memiliki kemampuan untuk mentransfer hal yang menonjol dari sebuah berita. Pada saatnya media massa mampu membuat apa yang penting menurutnya, menjadi penting pula bagi masyarakat. (Nuruddin, 2007: 195).

Sementara itu, menurut Bernard C. Cohen agenda setting theory adalah teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Menurutnya, “pers mungkin tidak berhasil banyak waktu dalam menceritakan orang-orang yang berfikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa”. (Baran dan Dennis, 2007: 13).


Dalam hal ini, Stephan W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya Theories of Human Communication mengutip Rogers & Dearing  mengemukakan bahwa agenda setting theory adalah teori yang menyatakan bahwa media membentuk gambaran atau isu yang penting dalam pikiran. Hal ini terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita. Saluran

berita sebagai penjaga gerbang informasi membuat pilihan tentang apa yang harus dilaporkan dan bagaimana melaporkannya. Selain itu, dikatakan juga bahwa agenda-setting merupakan proses linear yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:


A. Agenda Media (Prioritas masalah-masalah yang harus dibahas dalam media harus ditentukan

B. Agenda Publik (Mempengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media mampu mempengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya).


C. Agenda Kebijakan Publik (Apa yang dipikirkan para pembuat kebijakan publik dan privat penting atau pembuatan kebijakan publik yang dianggap penting oleh publik).


Dari sejumlah pengertia diatas dapat diambili satu kesimpulan bahwa agenda setting merupakan merupakan teori komunikasi massa yang memiliki tujuan dimana media berusaha untuk mempengaruhi pendapat khalayak mengenai isu tertentu dan media mengarahkan khalayak isu-isu mana yang perlu mendapat perhatian.


Berangkat dari teori-teori ini, dan berdasarkan penelusuran saya di sejumlah media, Ade Armando menurut saya bukanlah bagian dari agenda setting.  Hal ini diperkuat sejumlah pernyataan polisi di media bahwa sejak awal kehadiran Ade Armando di lokasi demonstrasi sebagai bentuk dukungannya terhadap isu yang diangkat mahasiswa.


Ade Armando dalam konteks ini justru menjadi korban penganiayaan dan kekerasan, tentunya pelakunya bukan mahasiswa sebagi massa utama dalam demonstrasi ini. Namun, ada pihak-pihak yang turut menunggangi demonstrasi mahasiswa, dan mereka sengaja datang ke lokasi demonstrasi untuk membuat kekacauan, kerusakan, dan tidak takut melukai massa yang lain. Hanya saja dalam kesempatan ini mereka melihat Ade Armando di lokasi dan sengaja menjadikan Ade Armando sebagai korban kekerasan agar tujaun mereka membuat kekerasan tercapai. Hal ini diperkuat sejumlah artikel di media berikut ini:

Sementara terkait adanya fokus pemberitaan terhadap Ade Armando saya kira ini tidak terlepas dari  perkembangan era digital dimana media mainstream dan media sosial tidak bisa dipisahkan. Bahkan keduanya memiliki relasi sebagai ‘teman’. Maksudnya, adalah kenapa media-media lebih cenderung fokus ke kasus penganiayaan daripada tuntutan mahasiswa karena kasus kekerasan terhadap Ade Armando lebih memiliki nilai berita dalam konteks menarik pembaca. Karena Ada istilah yang mengatakan ‘good news is no news, tapi bad news is good news’. Adagium inilah yang menurut saya akhir-akhir ini menjadi pijakan media, dimana kasus kekerasan Ade Armando dianggap akan menaikan viewers atau rate dan rating. Disisi lain, ketika angle tersebut diankat menjadi isu di media maka akan viral di media sosial karena hubungan pertemanan media mainstream dan media sosial maka dengan secepat kilat berita di media mainstream juga disebarkan di media sosial.


Dengan demikian, kasus kekerasan Ade Armando bukanlan agenda setting. Namun kalau dikaitkan dengan framing dan priming bisa saja ini masuk. Sebab framing adalah interpertasi atau tentang peristiwa yang terjadi. Sementara priming adalah hal ini menjadi fokus ya tentu karena tadi dianggap lebih banyak menghadirkan pembaca ketimbang isus demo mahasiswa.

Media tentu saja berkepentingan bagaimana pembacanya banyak dan iklannya tumbuh terus. Karena kalau hanya memilih isu yang tidak bombastis dan biasa-biasa saja akan cenderung ditinggalkan pembaca. Sehingga mau tidak mau hampir secara bersamaan media-media menfokuskan beritannya pada berita yang dianggap news value dalam arti menaikan revenue. Ketimbangan news value dalam arti informasi yang mencerdasakan untuk masyarakat.


Pilihan media tersebut mestinya dikritisi, walaupun hal itu merupakan kebijakan redaksi dan keputusan media secara instansi. Namun hal itu menurut saya tidak baik untuk masa depan demokrasi, terlebih media adalah pilar utama demokrasi. Harusnya media-media menyuguhkan konten-konten berkulitas, informasi yang utuh, berimbang, dan ikut mencerdaskan masyarakat dengan literasi melalui konten. Sehingga masyarakat tidak lagi hanya sekadar disuguhkan berita yang bombastis, namun tidak memiliki nila infomrasi dan pengetahuan.[]